Insodenia News

Wednesday, March 25, 2009

Lover & Hater Conversation (English version)

I love you ...
but I'm not.
then what should I do to make you sure?
i dont know ... I never find the right answer or you.
did you see the lack of me?
none. except that we are different but also same in everythings.
what are you doing?
I'm calculating the number of your rib bones.
trying to find myself there.
did you find yourself there?
no ones there ... either me. just a compositions of unbalanced bones.
then why are you still here ...?
I'm still dont know. perhaps because we're different but also same in everythings. readbud - get paid to read and rate articles

Lover & Hater Conversation (Indonesia version)

aku mencintaimu...
tapi aku tidak.
lalu apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkanmu?
entahlah... aku juga tak pernah bisa menemukan jawabannya untukmu.
apakah kau melihat kekurangan pada diriku?
tidak satupun. kecuali bahwa kita berbeda tapi sekaligus sama dalam segala hal.
apa yang kau lakukan?
aku sedang menghitung jumlah tulang rusukmu.
mencoba mencari aku disana.
apakah kau menemukan dirimu sendiri disana?
tidak ada siapa-siapa disana... tidak juga aku.hanya susunan tulang yang tidak seimbang.
lalu kenapa kau masih disini...?
aku juga tak tahu. mungkin karena kita berbeda tapi sekaligus sama dalam segala hal.

Saturday, September 20, 2008

Perang Jagad Gumaya - Episode 1

Hari kelima minggu kedua dibulan September, udara dingin menyelimuti pagi. Suara burung masih sepi ketika lonceng diatas menara pendopo kelurahan peninggalan belanda berdentang. Dibawahnya Pak Inggi dibantu seorang pengurus desa terlihat dengan susah payah mengayunkan bandul lonceng yang terbuat dari besi. Lonceng tua itu berdentang dengan nyaring, memecah sunyi yang masih mendekam erat sisa-sisa keheningan malam. Pertanda dimulainya masa musim panen raya di desa gemungmadya. Sebuah tradisi turun temurun yang sudah dilakukan oleh warga desa itu selama hamper dua ratus tahun lamanya. Panen kapas terbaik didunia. Meskipun ada beberapa dukuh yang sudah lebih dulu memulai masa panen diakhir bulan oktober, namun perayaan musim panen setiap tahunnya selalu dimulai setelah lonceng tua diatas menara ppendopo kelurahan berdentang.

Satu malam sebelum lonceng berdentang Pak Karto, petinggi desa mengumpulkan semua perwakilan dari 9 dukuh yang ada didesa tersebut seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada yang aneh dalam perayaan panen raya kali ini kecuali dalam rapat pada malam tersebut Pak Karto mengeluarkan sebuah peraturan baru bagi seluruh warga desa gemungmadya. Isinya, setiap dukuh harus mengumpulkan dan menyerahkan hasil panen kapas kepada lumbung desa hingga akhir November. Artinya setiap dukuh hanya punya waktu kurang dari dua bulan untuk menyerahkan hasil panen yang nantinya akan ditentukan oleh perangkat desa jumlah minimal bagi masing-masing desa. Bagi dukuh yang tidak dapat memenuhi kewajibannya sampai masa yang ditentukan, maka tanah bengkok dukuh tersebut untuk masa musim tanam berikutnya akan dikelola oleh desa sampai waktu yang belum ditentukan.

Para petinggi dukuh meradang dengan peraturan baru yang dikeluarkan pak Inggi. Tentu saja selain sebelumnya mereka tidak pernah merasa diajak rembug tentang peraturan tersebut, perwakilan dukuh-dukuh menganggap keputusan Pak Inggi tidak lagi mewakili kepentingan warga desa, karena roda pemerintahan desa praktis hanya tinggal Pak Inggi seorang. Permasalahan klasik didesa gemungmadya, bahwa posisi petinggi desa adalah posisi yang sangat vital dan membutuhkan energi yang banyak untuk merebutnya. Namun orang-orang yang dikirim untuk mewakili tiap-tiap dukuh yang sejatinya akan mendukung dan membantu petinggi desa, dengan berjalannya waktu akan hilang dengan sendirinya. Tentu saja dengan alasan yang beragam pula. Selalu berulang setiap dua tahun sekali selama beberapa decade.

Tapi Pak Inggi tak tinggal diam dengan sikap penolakan yang terang-terangan dari hamper semua perwakilan dukuh. Alhasil kentongan dibalai desa jadi bulan-bulanan kemarahan beliau. Belum lagi batu tulis hasil kerja bakti warga tiga tahun yang lalu yang lebih dulu berantakan dihantam tangan Pa Inggi yang meskipun kurus namun memiliki ilmu tenaga dalam yang tidak sembarangan. Bersikukuh dengan aturan barunya, justru beliau mengeluarkan aturan baru yang lebih bersifat instruktif dan tidak dapat diganggu gugat. “Bagi dukuh yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dan membangkang, maka seluruh asset dan tata kelola dukuh akan langsung diambil alih dan dikontrol oleh desa. Sehingga membuat suasana rembug desa pada malam itu semakin panas. Akhir kata rembug desa pun ditutup dan mereka dibubarkan tanpa sempat memberikan perlawanan sedikitpun. Hampir semua perwakilan dukuh yang datang pada malam itu mengeluarkan alasan yang sama. “Perang tanpa senjata!” tak ada satu dukuhpun yang akan mengira bahwa pembahasan rapat adalah penyerahan hasil panen yang ditentukan oleh desa, bukan seperti yang sudah-sudah, bahwa penyerahan hasil panen adalah otoritas tiap-tiap dukuh berdasarkan kemampuan masing-masing dukuh.

Namun penolakan aturan barupun tetap berjalan. Keesokan harinya dukuh-dukuh yang secara tradisional memiliki asset panen dan sumberdaya politik paling besar diantara dukuh lainnya mulai melakukan gerakan pembangkangan dengan mengumpulkan perangkat dukuh dan para tetua-tetua dukuh. Dari sembilan dukuh yang ada, hanya tiga dukuh saja yang dapat mengendalikan dan mengarahkan kebijakan desa pada umumnya. Termasuk dukuh yang mengusung Pak Karto sebagai petinggi desa dua tahun yang lalu.

Dukuh pertama adalah dukuh Emonoki, mengambil nama seorang legenda desa yang berasal dari jepang, yang menetap didukuh itu dan sekitar duaratus lima puluh tahun yang lalu. Dukuh ini memiliki kekuatan politik dan sumberdaya alam yang melimpah. Pada dasarnya tidak akan bermasalah jika harus menyerahkan sekian persen dari hasil panen mereka kelumbung desa, seperti panen yang sudah-sudah. Karna jumlah panen yang mereka setorkan setiap tahunnya justru melebihi batas yang diusulkan Pak Indro, satu-satunya perangkat desa yang hadir dan mendampingi Pak Inggi pada rapat malam itu. Secara politikpun dukuh emonoki disokong oleh orang-orang keturunan jepang yang sebagian besar tinggal kekota-kota besar dan berprofesi sebagai politikus dan pengusaha. Dukungan dana dan politik yang tidak ada habisnya membuat dukuh yang dipimpin Regi-san ini mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam perpolitikan antar dukuh dan penentuan kebijakan desa. Namun untuk saat ini ada semacam sikap hati-hati dalam setiap tindakan hamper semua perangkat dukuh tersebut. Bias jadi hal ini terkait dengan isu bahwa mereka berambisi untuk mendudukkan orang pilihannya Kaminaki atau biasa dipanggil Bung Kamin sebagai petinggi desa pada pemilihan desember nanti.

Berikutnya adalah dukuh D2. awalnya dukuh ini merupakan bagian dari dukuh Emonoki. Namun akibat pembangunan jalan penghubung antara dukuh emonoki dan dukuh sekitarnya, membuat warga yang tinggal disepanjang jalan baru tersebut mengalami peningkatan yang pesat baik dari segi taraf hidup maupun kebebasan berpolitik. Namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat jalan baru yang diberi nama jalur D2 mulai merasakan perbedaan dalam hal pembagian hasil panen dan keterwakilan komunitas mereka di perangkat dukuh. Akibat seringnya terjadi perbedaan pandangan politik dan system bagi hasil yang tidak merata itu pulalah yang menjadi alasan utama masyarakat disepanjang jalan tersebut menuntut desa untuk menjadikan mereka sebagai dukuh baru. Pertentangan yang akhirnya mereka menangkan dengan segala perjuangan. Kondisi sumberdaya alam dan politik di dukuh inipun tidak jauh berbeda dengan dukuh emonoki. Hanya factor sejarah perlawanan dan pembangkangan terhadap emonoki membuat mereka merasa mempunyai entitas yang berbeda dengan dukuh-dukuh lainnya. Tipikal masyarakat yang keras menjadi cirri khas dukuh ini. Tagi-san, pemimpin dukuh inipun tidak terlepas dari stigma dan tipikal masyarakat yang ditempa langsung dilapangan. Namun kecenderungan keras itupun bukan tidak ada celahnya. Tagi-san dianggap sosok pemimpin yang suka memutuskan sendiri segala kebijakan dukuhnya, tidak mau mendengarkan dan cenderung meninggalkan aspirasi warganya. Terlebih jika berhubungan dengan kebijakan desa. Aturan baru Pak Karto pun tidak banyak berpengaruh bagi dukuh ini, selain tentu saja dijadikan momen bagi perangkat dukuh untuk membangun kekuatan. Bukan untuk menentang aturan desa melainkan untuk meruntuhkan kepemimpinan total Tagi-san. Sehingga menjadi jelaslah bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan untuk segera merapatkan barisan dengan gerakan baru ini. Karena siapapun yang nantinya dapat memasuki dan mengendalikan perlawanan ini akan meraup keuntungan yang besar natinya terkait dengan agenda desa kedepannya.

Lalu ada dukuh SPF. Dukuh yang berkembang akibat adanya program pemerintah untuk menciptakan masyarakat petani dan industri yang berwawasan kedepan melalui program SIPI type F. atau disingkat SIPI-F (system internalisasi petani industri tipe F). keberagaman masyarakat didukuh ini membuat tidak ada kekuatan dominant yang berkuasa. Namun justru menjadi kekuatan besar dalam perebutan kekuasaan ditingkat desa. Hal ini dibuktikan dengan berhasil didudukkannya orang-orang pilihan diposisi petinggi desa selama beberapa periode, termasuk Pak Karto. Namun H. Reubin Pisa, pemimpin dukuh ini justru menganggap kinerja Pak. Karto di pemerintah desa telah mengalami kemunduran yang sangat drastic, sehingga beliau menjadi salah seorang yang paling berang dengan keputusan Pak Karto.

Kembali ke gerakan penolakan yang digalang oleh H. Reubin Pisa, beberapa hari setelah itu, hamper setiap malam ada konsolidasi ditingkat dukuh. Baik internal dukuh maupun pertemuan antar dukuh-dukuh yang ada. Pandangan dan kesimpulan yang dihasilkanpun berbeda-beda antara dukuh yang satu dengan yang lainnya. Ada yang menganggap Pak Karto telah mengalami sesat piker sehingga tidak dapat memutuskan segala sesuatu dengan benar dan pikiran jernih. Ada pula yang menganggap putusan tersebut sarat muatan politis, entah pribadi atau yang berhubungan dengan kongres bupati sekaresidenan maupun yang terkait dengan pemilihan umum anggota dewan rakyat dan gubernur jenderal pada tahun 2009 yang akan dating. Ditambah lagi dengan beredarnya isu yang mengatakan bahwa setiap dukuh harus menyetorkan minimal 100 ton kapas sampai dengan November. Jika melihat Hukum dan aturan desa, bahwa setiap dukuh menyetorkan hasil panennya adalah benar, namun tidak disebutkan jumlah yang harus disetorkan setiap dukuh ke lumbung desa melainkan berdasarkan kemampuan dan hasil rapat di masing-masing dukuh. Isu yang sudah beredar kemana-mana mau tidak mau membuat hamper semua tetua desa dan dukuh-dukuh ikut meradang dan mengutuk Pak Karto sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas semua kekacauan ini.

Situasipun menjadi semakin panas. Tetua desa, tetua dukuh, perangkat dukuh, orang-orang yang berkepentingan dengan agenda pemilihan petinggi desa dan orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan yang jelas namun punya kemampuan mengarahkan dan memanfaatkan isu yang saat ini berkembang, semua berkumpul, mengadakan rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, dan mengumpulkan aliansi sebanyak-banyaknya demi membangun kekuatan dikubunya masing-masing. Akibatnya prosesi panen raya menjadi tidak menentu. Ada yang menunda, ada yang mempercepat panen. Ada yang menunda, lalu tak berapa lama kemudian mempercepat panennya. Pembicaraan intensif yang memakan waktu masih berlangsung dimasing-masing kubu. Dukuh beserta perangkat dan pendukung lainnya, aliansi antar dukuh, dan Pak Inggi yang berjuang seorang diri. Sekali waktu diadakan pembicaraan antar dukuh dengan maksud dan tujuan yang hamper sama. Saling mengintip celah dan kekuatan masing-masing kubu demi mulusnya kepentingan kedepan sembari berpegangan tangan meruntuhkan kekuatan Pak Karto yang bertahan tanpa bantuan dari pihak manapun.

Lalu dimana dan apa yang dilakukan oleh Pak Karto, sang petinggi kontroversi ketika dukuh-dukuh tradisional melakukan gerakan pembangkangan..?

“saya tidak punya maksud apa-apa ketika mengeluarkan keputusan tersebut.. kecuali untuk ketertiban semata. Siapa yang tidak senang ketika kita mampu memutus jaringan lalu lintas penjualan kapas yang justru dikuasai oleh orang-orang yang tinggal dikota. Bukan kita yang menentukan berapa harga kapas dipasaran, atau kemana hasil panen kita akan dipasarkan nantinya.” Ujar Pak Karto dengan tenangnya dalam obrolan disebuah warung bersama seorang mantan petinggi desa beberapa hari yang lalu. “tapi jika ada saudara-saudara yang lain yang menganggap apa yang saya lakukan hanya untuk kepentingan pribadi saya sendiri atau putusan ini sarat dengan muatan politis, ditinjau dari teori apapun dan saya sebejat apapun tidak ada keuntungannya buat saya pribadi.. sama halnya dengan teman-teman yang mewakili dukuh, saya berang ketika awalnya saya diposisikan seperti ini. Akan tetapi setelah saya piker-pikir apa yang saya lakukan kemarin setidaknya membuka pandangan semua orang dan saya sendiri siapa kawan taktis dan strategis saya.. jika ini adalah sebuah permainan, saya jadi paham aturan mainnya, bagaimana petanya dan apa yang harus saya lakukan agar menang. Saya dating, saya main, saya menang!” Pak Karto mengakhiri ucapannya dengan mantap. Seakan-akan beliau sudah memenangkan peperangan yang belum dimulai.

Monday, September 15, 2008

Differentia..

Pertentangan yang kita coba ciptakan,
ternyata hanya mengulang persamaan-persamaan dimasa lalu.
Entah aku, entah kau..
Tak ada yang berbeda, kita tak mencipta 'dik..!
Hanya mengeja ulang kata cinta, dengan makna yang tak kentara.
Lirih..
Pedih..
terkadang dingin berdesir,
membawa debu-debu lupa, yang menumpuk menebal menutupi luka.
Atau jadi sungai yang tenang, perlahan menyapa lautan.
Hanya untuk menggelegar, memecah karang-karang tak bernama.

Pertentangan yang kita mainkan,
masih kucoba untuk memperlihatkan, bahwa inilah wajah sendu kenyataan.
Meski kau selalu mendua dengan udara.
Atau mungkin itu jualah perselingkuhan yang kau sebut cinta.
Sebab cinta tak perlu makna..
Sebab cinta tak perlu rasa..
Cukup desah halus dirongga dada,
yang tak pernah menghitung masa. readbud - get paid to read and rate articles

Nietzsche

There is always madness in love,
but there is also some reason in madness..

Langkah.. readbud - get paid to read and rate articles

Langkahnya..
Gemulai tak bernafsu.
Seperti persetubuhan angin dan ranting randu..

Friday, August 08, 2008

"Cinta; setelah sebuah titik."

Aku; melihat kilasan dongeng purba pada anyaman ilalang yang menyerupai angsa, bersanding dengan seekor merak dari kaca.

Cinta; sepasang merpati yang terekam dalam sebuah potret hitam putih, lusuh bersetubuh dengan warna.

Kau; hanya tersenyum, ketika kulukis matahari ditelapak tanganmu.

Tanpa; hiasan lembayung diujung-ujung jarimu.

Pernah; juga kulukis rembulan, meski kutau, kau tak pernah suka warna suram.

Kau; tertawa, ketika matahari terbit diantara kedua matamu.

Sadari; dirimu..! kau mengulang ucapan shita kepada rama dalam sebuah drama tentang pengharapan.

Sampai kapan...

Sampai kapan kau simpan dendammu..
Sementara tanganku tak lagi membatu,
Mengukir namamu.

Sampai kapan kau akan murka..
Disudut ini aku tak lagi perkasa.

Sampai kapan kau tetap diam..
Ketika mimpiku tak lagi tentang masa silam.

Sampai kapan kau sembunyi..
Toh, hatiku kini tlah merapat ketepi.

Sampai kapan..
Kau mengeja namaku sebagai sebuah kesia-siaan...

Saturday, January 12, 2008

Angsa

Sedari sore, lelaki itu masih diam dibalik jendela kaca yang berjeruji dilantai dua, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya, dari jendela itu ia selalu bisa melihat banyak hal yang melintas diluar sana. Terkadang ia menyaksikan orang-orang lalu-lalang menghitung langkah yang seakan enggan untuk berhenti. Dilain waktu, ia asyik menyaksikan pertunjukan angsa-angsa yang menari, dengan leher panjang mereka yang menyusuri tanah menyerupai tangan-tangan yang dijulurkan. Tak ada yang istimewa dengan hewan-hewan berleher panjang tersebut baginya, hanya karena istrinya saja yang meminta untuk memelihara sepasang angsa tak lama setelah mereka menikah hanya untuk meneruskan tradisi keluarga.
Hampir lima tahun setelah itu, dari dua ekor angsa kini sudah ada lima belas ekor angsa yang berkeliaran ditaman samping rumahnya, dan selalu dari tempat itu ia bisa berjam-jam lamanya menatap angsa-angsa itu berlarian sepanjang sore dan kembali kekandang menjelang gelap datang. Tak ada yang istimewa, tapi seperti halnya angsa-angsa dibawah sana, ia selalu disana menunggu gelap datang. Terkadang hanya diam tak melakukan apa-apa.
Telpon genggam disampingnya bergetar beberapa kali. Sebuah gambar surat tertera dilayarnya, dengan sikap malas ia membukanya dan ternyata sebuah pesan singkat dari istrinya. Mas, aku belum bisa pulang malam ini. Seperti biasa jadwal meetingnya diperpanjang. Tapi jangan takut, Inah akan menyiapkan segala keperluanmu. Mungkin aku baru pulang dua hari lagi. Jaga dirimu baik-baik. “Bah! Sejak kapan aku takut” pikir lelaki itu. Seperti biasa, setiap keluar kota istrinya tidak akan pulang tepat waktu. Masalah jadwal lah, atau pertemuan yang alot lah, selalu saja ia bisa mencari alasan untuk memperpanjang kunjungan keluar kotanya, dan lelaki itu tak pernah sekalipun protes atau sekedar bertanya tentang semua alasan yang dibuat istrinya. Toh ia tahu, dan semua orang tahu, tentang kebiasaan istrinya yang tak pernah bisa hilang meski mereka sudah menikah. Lagipula untuk apa ia ambil pusing dengan kebohongan-kebohongan yang dibuat istrinya jika ada Bik Nah yang sudah mengurusi segala keperluannya. Ya… seperti kata istrinya, “kan ada Inah dirumah, jadi mas tak perlu repot. Biar dia yang menyelesaikan tugas-tugas yang harus kutinggalkan.” Meskipun ia tahu tak ada satu tugaspun yang harus dikerjakan istrinya dirumah itu, kecuali pulang, mandi dan bergegas tidur. Kadang ia berfikir harga yang harus dibayar ketika ia dulu menikahi perempuan yang sekarang menjadi istrinya adalah kemampuan untuk memaklumi. Atau tepatnya sikap sumarah (pasrah). Meskipun didalam budaya yang dianutnya sikap sumarah kebanyakan hanya untuk kaum perempuan saja. Tapi tidak untuk istrinya. Penyangkalan dan logika terbalik justru menjadi makanan sehari-hari mereka.
“Kita harus menikah mas..” kata perempuan itu ketika mereka tengah berbaring polos diranjang sebuah kamar hotel. “kenapa?, apa kamu yakin kita akan tetap bahagia jika menikah?” lelaki itu mengelus rambut halus kekasihnya dan mengecup keningnya. “aku juga tidak tahu, mas. Tapi yang aku tahu, aku hamil dua bulan.” Lelaki itu hanya terdiam mendengarnya. Bukan. Bukan karena mendengar kekasihnya hamil, toh ia bisa saja pergi dan menghilang, seperti yang ia lakukan dulu. (meskipun saat itu tidak ia lakukan). Juga bukan karena bingung bagaimana ia harus bertanggungjawab kepada orang tua mereka nantinya. Tapi lebih karena sedari awal ia memang tak pernah siap naik kejenjang perkawinan. Ia tahu, perempuan itu juga tahu. Mereka berdua adalah adalah buah yang jatuh dari pohon yang tumbuh dikepala Dyonisos. Orang-orang yang tak puas hanya berlabuh pada satu dermaga. Orang-orang yang akan menjelajahi dan mencoba apa saja yang berhubungan dengan kesenangan dan kenikmatan. Tapi mengapa harus menikah? Selain dengan perempuan disampingnya, lelaki itu juga punya hubungan yang serius dengan perempuan-perempuan lainnya. Tak ada yang salah, bahkan luar biasa dan menegangkan. Tapi setiap perempuan-perempuan itu meminta dirinya untuk menikah, selesai pulalah hubungan mereka. Karena ia tahu kekasih-kekasihnya juga melakukan hal yang serupa dengannya. Tapi selalu saja ia tidak bisa menolak untuk perempuan yang satu ini.
“tapi.. mengapa harus kawin?” Pikir lelaki itu. “kau tahu, orangtuaku, orangtuamu bukan orang yang terbuka seperti kita, dan aku tidak ingin mengecewakan mereka. Makanya kita harus kawin, mas. Karena aku tak ingin anak dalam kandunganku lahir tanpa bapak. Meskipun aku tak yakin ini adalah anakmu” Seperti mengerti jalan pikirannya perempuan itu kembali berujar. “ah.. jujur sekali kau, seakan sengaja kau keluarkan desismu yang menghipnotis itu” pikir lelaki itu lagi. “kupikir juga begitu” jawabnya itu dengan ringan. Berusaha mengimbangi kejujuran ular betina disampingnya. Ia berfikir mungkin itulah alasan kenapa ia masih bisa bertahan dengan perempuan itu, selain tubuhnya yang menggairahkan tentu saja. “tapi tak mengapa, akan kupikirkan dalam satu dua hari ini..” katanya seraya mendekap tubuh kekasihnya. Ada nada luluh dan pasrah yang keluar dari kata-katanya tadi. Tapi tak ada yang ambil perduli karena mereka sudah kembali larut dalam pergumulan aneh dan menegangkan.
Dari balik jendela kaca yang berjeruji, lelaki itu hanya memandang gelap. Tak ada cahaya bulan untuk dipuji dan dikagumi. Jam lonceng diruang tengah berdentang nyaring, “sudah jam sembilan malam” ia menghitung. Pintu kamar diketuk perlahan, “masuk..” lelaki itu membalas. Seorang perempuan muda muncul dari balik pintu dengan setelan daster warna hijau yang agak pupus. “mau saya buatkan susu tuan?” “ya.. dan jangan lupa kue keringnya, Nah.” Sekejap pembantu itu kembali menghilang dibalik pintu. Sementara sang majikan mengambil rokok sigaret dari sakunya, menyalakan dengan perlahan dan menikmati setiap lekukan asap yang memenuhi rongga dadanya dengan penjiwaan yang penuh. Bungkus rokok dan korek api dilemparkan sekenanya keatas meja kerja didepannya dan sepertinya tepat jatuh mengenai mouse komputer diatas meja, karena sekejap layar monitor kembali menyala. Sebuah tampilan program bentuk bangun dan ruang terpampang disana. Sedari sore, setelah dinyalakan dan membuka program tersebut, sepertinya tak sekalipun ia menyentuh komputer itu. Padahal ia hanya punya waktu dua hari lagi untuk segera menyerahkan hasil desain kepada atasannya. Meskipun ia tahu aturan yang ketat diperusahaannya tidak mentolerir sedikitpun keterlambatan dan kelalaian, terlebih untuk karyawan seperti dia, yang tidak punya posisi penting untuk dipertimbangkan oleh atasannya.
“aku tidak yakin bisa menafkahimu..” lelaki itu kembali teringat ucapannya dulu. Bagaimana ia masih saja berusaha untuk menggagalkan pernikahan mereka. “aku tak pernah melihat pekerjaanmu akan menjadi penghambat dalam perkawinan kita nanti. Toh kalaupun nanti kita akan sedikit bersitegang tentang sesuatu hal, aku yakin kita akan saling jujur dan terbuka.” “ah.. mengapa setiap ular selalu saja mendesis.. sebuah kejujuran yang memiliki aura memaksa sehingga tak ada yang bisa menolaknya,” dan akhirnya luluh juga hati lelaki itu.
Inah masuk membawakan segelas susu dan kue kering, meletakkannya diatas meja. “ada yang lain lagi, tuan?” ia bertanya. “oh, Nah, kamu tidur disini saja ya.. temani saya.” “ya, tuan” pembantu itu menjawab lalu segera menghampiri ranjang dipojok ruangan, menarik selimut hingga keatas perutnya dan segera mengambil posisi tidur. Entah karena takut, entah polos atau justru sikap yang dipenuhi nafsu gila. Sementara lelaki itu terus memperhatikannya dari sisi jendela. “lumayan untuk ukuran seorang pembantu” pikirnya. Bahkan bisa disandingkan dengan pembantu-pembantu yang ada di sinetron-sinetron yang sering dilihatnya sekilas ditelevisi. Tidak cantik tidak juga jelek. Kulitnya bersih, meskipun tidak putih. Tubuhnya sintal, sebagaimana layaknya tubuh sintal perempuan didesa-desa. Janda yang ditinggal mati suaminya lima tahun yang lalu ini sudah tiga tahun bekerja dirumahnya.
Lelaki itu berdiri, berjalan kearah lemari dan membuka salah satu lacinya. Ia membolak-balik tumpukan map yang ada didalamnya, terkadang hanya melihat sedikit tulisan yang tertera dipojok atas map-map yang kebanyakan berisi tentang berkas-berkas arsitektur. Pada satu titik, ia berhenti, menarik salah satu map yang ada ditengah tumpukan. Sebuah berkas dokumen yang dikeluarkan oleh rumah sakit sepertinya. Tapi segera diletakkannya lagi. “saya mau tes DNA, dok.. Oh, ini untuk keperluan saya sendiri. Istri saya? Saya rasa istri saya tidak perlu tahu tentang hal ini dan saya mau ini hanya menjadi rahasia kita berdua saja. Anda tentu masih ingat kode etik seorang dokter bukan? Maaf kalau saya lancang mengingatkan anda, dan semoga anda maklum dengan itu. Ya.. tentu saja. Saya tahu ini tidak murah, tapi anda harus percaya bahwa saya bisa mengatasinya karena sebelumnya saya sudah memperkirakan hal itu. Apa? Oh begitu, baiklah saya akan mengusahakan secepatnya segala persyaratannya, dengan pembayarannya tentu saja. Anda sudah baik sekali mau membantu saya. Dengan siapa? Anak saya, dok. Oh, tidak. Saya sedikitpun tidak meragukannya, karena saya sudah bulat apapun hasilnya dia tetap anak saya. Anda jangan khawatir, lagipula ini urusan keluarga saya dan tugas anda hanya sebatas yang telah anda sebutkan tadi. Oh, maaf kalau saya terlalu jujur dan agak sedikit lancang kepada anda. Terima kasih, saya tahu anda orang yang baik hati. Oh ya dok, sekalian saya juga mau tes kesuburan. Ah dokter bisa saja. Ya saya sendiri, seperti tadi sudah saya bilang, istri saya tidak boleh tahu tentang hal ini. (atau tepatnya tak mau tahu dengan apa yang dilakukannya, pikir lelaki itu) baiklah dok, kapan kira-kira kita bisa selesaikan urusan ini? Dua hari lagi? Baiklah, saya akan selesaikan segala persyaratannya dan kembali kesini dua hari lagi. Terima kasih. Oh ya, dokter, anda kalau tersenyum cantik sekali. Ah, tidak. Saya jujur kok.
Lelaki itu kembali duduk disisi jendela, teringat anak lelakinya yang sudah beberapa hari ini ia titipkan dirumah mertuanya. “kasihan anak-anak jaman sekarang.” pikirnya. Harus menjadi korban ketidakjujuran orang tua mereka.
Jam lonceng di ruang tengah kembali berdentang. Sudah pukul sepuluh malam. Inah sepertinya sudah pulas, sementara selimut yang tadi menutup setengah tubuhnya sudah tersingkap separuhnya. Pahanya yang sekal tidak mampu ditutupi daster yang sudah tertarik keatas. “Ah.. kenapa alasan bagiku untuk bertahan justru menjerumuskan hidupku sendiri” pikir lelaki itu. Aroma khas rumah sakit memyeruak dipangkal hidungnya. “tuan, seperti yang sudah anda katakan kemarin, saya harap apapun hasilnya anda bisa menerimanya dengan tabah. Jika anda butuh apapun untuk meredakan semua ini, saya siap membantu anda.” Suara dokter muda yang terdengar agak berat itu memecah lamunannya. “Hah! Persis seperti istriku” pikirnya. Suaranya, ucapannya, bahkan senyumnya. “mas, kita akan saling terbuka. Kalau mas butuh apa-apa, Inah akan menyiapkan segala sesuatunya.” Sementara istrinya masih saja tenggelam dalam petualangan yang sepertinya tak pernah usai, tanpa kejujuran lagi. “mas, aku ada meeting perusahaan dipuncak selama tiga hari. Mas jaga anak kita ya..” meskipun ia tahu selama itu pula istrinya selalu berpindah dari satu pelukan lelaki ke lelaki yang lainnya. “Anak kita? Siapa bilang dia anak kita?! Anakmu hasil kumpul kebo dengan ketidakjujuran barangkali?” lelaki itu bersungut dalam hatinya. “tuan..! tuan!” “oh, dokter. Terima kasih sudah mengingatkan saya. Maaf saya agak terbawa suasana, terimakasih sekali lagi atas bantuannya, dan sepertinya saya akan sangat membutuhkan bantuan dokter nanti.(sebagai pelampiasan tentu saja) Ya, nanti tentu saja, karena saya rasa sudah cukup kerepotan yang saya timbulkan. Apakah anda tidak keberatan jika kita bertemu lagi? Yah, disini. Tapi ditempat lain juga tidak masalah bagi saya, mungkin dirumah atau diluar. Itu kalau dokter tidak keberatan tentu saja. Oh, tidak. Saya sadar sepenuhnya. Saya merayu anda tentu saja. (karena dari awal lelaki itu tahu dokternya suka tersenyum kepadanya. Dengan asumsi itu adalah senyum yang menggoda dan mengajak tentu saja) dan itu kalau anda tidak keberatan. Ah, biasa saja, terimakasih. Saya memang berusaha untuk jujur dan lebih baik saya terbuka saja kepada anda.”
Sejak itu petualangannya dimulai kembali. Tak ada hal yang tidak bisa mereka lakukan disela-sela kesibukan mereka membagi waktu. “apakah kau pernah berfikir kalau aku menerimamu hanya karena kau sedang goyah?” pernah kekasih barunya itu bertanya ketika mereka terlentang polos diranjang hotel yang sama dengan hotel ketika dulu istrinya meminta untuk segera menikahinya. “tidak sedikitpun, meskipun benar, saat itu aku goyah. Karena aku tahu, hari itu, bahkan jauh sebelumnya, bahwa kau juga sedang goyah.tapi kegoyahan kita tak ada hubungannya sama sekali dengan hubungan kita saat ini” “bagaimana kau tahu?” “dari senyummu..” “ada apa dengan senyumku..?” perempuan itu bertanya dengan manja. “kejujuran..!” jawabnya mantap.
Lelaki itu beranjak mendekati jendela, membuka kacanya. Seketika angin malam menyeruak kedalam ruangan. Meski ruangan itu ber-AC, ia masih dapat merasakan dingin angin yang menerpa wajahnya. Ia berbalik menghampiri Inah yang masih pulas, lalu duduk disisi ranjang. Matanya mengamati sekujur tubuh sintal yang terlentang. Dari balik daster yang dikenakan perempuan itu ia dapat melihat dengan jelas kalau pembantunya itu tidak menggunakan BH sama sekali. Inah terjaga. “tuan..” ucapnya lirih. Sebuah aroma yang kuat kembali menyeruak dipangkal hidungnya, bukan aroma rumah sakit, tapi aroma rumahnya sendiri. Hari itu, hari ketika ia baru saja menerima hasil tes yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Perasaan goyah, bimbang, tertekan bercampur jadi satu. Bukan karena hasilnya, toh ia sudah siap dengan apapun hasilnya. Tapi lebih karena kesadaran yang kembali setelah sekian lama menghilang. Seperti seekor keledai yang baru sadar bahwa sudah ribuan kali terjerumus dilubang yang sama. Bahwa ternyata ia menaruh harapan yang terlalu besar pada kejujuran. Hari itu, bagaimana lelaki itu tiba-tiba menjadi hewan yang sedang terluka dan segera menjadikan Inah sebagai pelampiasannya. Laknat memang. Entah karena galau, entah karena hilang akal atau karena ia sendiri merasa sangat bergairah sekali setelah seharian disuguhkan senyum dokter dirumah sakit tadi. Belum lagi jika ia melihat daging putih yang seakan memaksa untuk keluar dari blues dokter muda itu. “ah. Kasihan kau, Nah.. dan Inah-inah yang lainnya tentu saja. Harus ikut menanggung beban-beban majikanmu” pikir lelaki itu. Setelah semua itu Inah hanya menangis mendekap erat-erat pakaiannya. “jangan takut nah, aku tidak akan mengadukanmu kepada nyonya..” “hah..! alasan yang sempurna. Bukannya dia yang justru akan mengadukanku keistriku? Tapi untunglah orang seperti Inah tak pernah mengerti dengan kerumitan kata dan tindakan yang harus mereka terima.”
Jam lonceng kembali berdentang. Sebentar lagi tengah malam. Inah masih lirih, tapi semakin berani. Tak ada lagi perisai malu yang melindungi perempuan itu, mungkin karena birahinya juga sedang memuncak. (sebuah kewajaran untuk perempuan yang tidak lagi merasakan sentuhan lelaki sejak beberapa tahun lamanya). Dulu perempuan itu selalu menangis setiap lelaki itu menggagahinya. Tapi sekarang tangisan itu berhenti dengan sendirinya. Lelaki itu berfikir kenapa selalu saja kejujuran yang menjerumuskannya. Inah memang tak pernah menangis lagi setelah lelaki itu berkata dengan pelan namun pasti “jangan takut. Kau tak akan hamil, karena aku mandul..!”

Wednesday, January 09, 2008

"Aku" Ketika Menjebak Diri Dalam Rutinitas

16.00 WIB
posisi dimana?
lagi jaga..
jaga apaan sore-sore gini?
lagi jaga realitas dan harmonisasi perut dan kepala.
binatang apaan tuh, baru denger..
udah ada dari dulu, cuma kulitnya aja yang beda. ada yang bilang anak peradaban.
galak kah?
sometimes.. tapi aku pikir lebih sering melenakan iya..
ok deh met jaga aja.. kapan-kapan kita ngobrol lagi ya.

18.00 WIB
lagi ngapain mas..?
lagi nonton Naruto..
apa sih enaknya nonton kartun ga mutu kayak gitu?
mending kan daripada nonton sinetron yang udah ketebak akhirnya..
iya tapi ga ada kesibukan lain apa?
ada.. lagi ngitung uang.
wakakak.. enak dong, banyak duit.
ga, orang duitnya orang kok.
trus narutonya gimana?
masih, lagi ngeluarin jurus seribu bayangannya..
sama saur sepuh bagus mana?
wah, udah lama banget tuh. terlalu lama untuk diingat dan udah ketuaan.
jalan yuk..
ga ah.. narutonya belum kelar.
udah tua kok sukanya film kartun, ga mutu lagi.
biarin..
ga asyik ah. dah dulu ya.. bye..

20.00 WIB
kapan kamu pulang?
masih bingung nih, masih banyak kerjaan disini..
tapi kita semua rindu kamu..
tapi cinta tidak selalu harus diartikan dengan pulang kan?
ya.. terserah kamu saja lah.. yang jelas kita selalu tunggu cintamu disini.

23.30 WIB
lagi ngapain?
lagi ngangkat gelas pertama malam ini.
hahaha.. hati-hati jangan sampe ngebakar rumah lho..

Labels:

Sunday, November 18, 2007

Anger

sepertinya kita harus pergi,
selalu pada apa yang kita yakini.
lagi dan lagi...
seperti yang sudah-sudah..

atau baiklah kita diam saja,
menunggu kepala kita penuh bara.

Labels: